Wiji Thukul Wijaya 21/03/2007
Posted by admin ppi-um in Speak UP.trackback
Wiji Thukul Wijaya lahir di Sala 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak. Keluarganya katolik, dan diapun masuk SD katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada tahun 1980.
Di Solo, Thukul dibesarkan di sebuah kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Berapapun tambahan penghasilan dari anak istri bias sangat penting artinya. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampong.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkahnya sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah mejadi tukang Koran, tukang semir mebel di suatu perusahaan kecil di kampung, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan. Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antalogi 4 Penyair Solo. Kumpulan terbaru Thukul berjudul Suara. Dia memproduksi sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya : ” Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”
TIRANI HARUS TUMBANG
(Wiji Thukul, 1987)
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga, Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika Kami bunga, Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah Kami sebar biji-biji
Suatu saat Kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan : Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami, Dimanapun
Derita Sudah Naik Seleher
kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap
kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kauteteskan
dari bibirku
luka sudah kaubilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kaurampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas
Kucing, Ikan Asin Dan Aku
Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus
ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam
mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!
lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan
Mas Tukul Kuburmu dimana ……hik.hik.hik
Wiji Thukul inspiring!!
mas, wiji khukul, saya minta nomor telepon yang bisa dihubungi langsung. saya mau bincang-bincang langsung ke ma wiji thukul.
dalam waktu dekat ini saya mau ngadain acara Amal Kepedulian Kita Terhadap Putus Sekolah di Jawa Tengah.
mohon bantuan sukarela nya
mohon dibalas.
terima kasih
deni
mahasiswa bahasa dan sastra indonesia
fakultas bahasa dan seni
unversitas negeri semarang
tabir hitam memisahkan kita
saya sedang melakukan penelitian mengenai wiji thukul dan seni perlawanan di masa orba. Saya sangat mengharapkan kepada siapa saja yang tertarik mendiskusikan atau berbagi informasi mengenai tema tersebut. hubungi saya di m_febrian@yahoo.com.
tidak ada yang bisa melwaan pikiran-ku, jiwaku selalu bersama perlawan yang tak adil
Wiji Thukul tak akan pernah mati… tidak bagi ku…
ikuti kata hatimu
Hari ini aku pulang ke kampung halamanku. Ku pandangi bekas lahan persawahanku yang tergantikan ular beton raksasa yang terkenal dengan Cipularang. Petani kehilangan lahan, pedagang kehilangan pelanggan. Generasi mudanya tidak acuh akan lingkungan… Ah, Mas Wiji aku butuh semangatmu. Aku tak ingin kampungku tergerus kapital dan menjadi mati lunglai…. Aku tetap ingin jadi petani seperti bapakku, kembalikan lahan sawahku….
LAWAN mereka!!!!, jangan takut semua ini hanya sementara tidak ada yang kekal abadi, KEKUASAAN itu AKAN RUNTUH!!!!!!!!
Wiji Thukul… biji yang tumbuh jadi peluru…Bagaimana nasib keluarganya?
Terima kasih telah memuat beberapa puisinya, sekarang agak sukar mencari buku kumpulan puisinya.
Wiji I am your fan!
ketika kepala tertegak menantang..
dengan tatapan mata bak pedang terhunus..
lantas mereka membubuhkan tanda merah pada hidup ku..
aku dikirikan..aku PKI katanya..
aku hanya menuntut hak ku..
aku hanya mencoba mempertahankan..
apa yg telah mereka rampas dariku..
mas Wiji..ajari aku akan keteguhan dan kepedulian mu..
aku turut berdo’a
Seseorang yang membuat saya meneruskan niatan lama utk terus membuat puisi-puisi perlawanan…!!! “Sajak Suara”-nya terus ku deklamasikan menjelang tidur…Dan “Bunga dan Tembok”-nya adalah doa pagiku…!!! Jika memang Ia harus dihilangkan, jangan hapus semua tentangnya dari Sejarah, seperti dosa yang negara ini telah perbuat kepada Tan Malaka, Harry A.Poetze, dan Alimin…Serta ribuan lainnya!!!
Luar biasa Puisinya. Lebih tajam dari pada pedang!!!!
mas widji thukul….
andai kau masih hidup…
apa yang ingin kau sampaikan kepada negri ini sekarang?
edharlds@yahoo.co.id
hallo……….
wiji thukul…
masih ada????
semoga mas wiji thukul baik baik saja! salam damai untukmu!
mas widji….
suara-suaramu tak akan ikut terkubur dalam raga yang tak terketemukan
walaupun ragamu hilang entah kemana, tapi semangatmu tak akan pernah hilang